Breaking News

Alasan MA Larang Ekspor Pasir Laut: Bertentangan dengan UU Kelautan dan Ancam Lingkungan

Foto: Ilustra MA larang Pemerintah Ekspor pasir laut, (istimewa). 

INDOTIMES.id, Jakarta – Mahkamah Agung (MA) resmi melarang ekspor pasir laut setelah mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh dosen asal Surakarta, Muhammad Taufiq.

Dalam putusan bernomor 5 P/HUM/2025, MA menyatakan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Putusan itu dibacakan pada Senin, 2 Juni 2025, oleh majelis hakim yang diketuai Irfan Fachruddin, bersama dua anggota majelis Lulik Tri Cahyaningrum dan Yosran. Panitera pengganti dalam perkara ini adalah Fandy Kurniawan Pattiradja.

MA memerintahkan Presiden RI sebagai termohon dalam perkara ini untuk mencabut ketentuan yang memperbolehkan pemanfaatan dan penjualan pasir laut hasil sedimentasi. Presiden juga dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta.

Bertentangan dengan Undang-Undang

MA menilai bahwa PP 26/2023 dibentuk tanpa perintah eksplisit dari undang-undang. Padahal, menurut Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011, peraturan pemerintah harus selaras dengan undang-undang dan tidak menyimpang dari substansinya.

MA menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) PP tersebut justru melegalkan kegiatan komersial berupa penambangan dan ekspor pasir laut, yang bertolak belakang dengan Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Pasal ini menekankan pada perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, serta tidak mengatur pemanfaatan sumber daya laut untuk tujuan komersial.

Ancaman Terhadap Lingkungan

MA juga menyoroti fakta bahwa sejumlah wilayah pesisir, terutama di utara Pulau Jawa, mengalami kerusakan parah akibat abrasi dan naiknya permukaan laut.

Pemerintah dinilai belum menunjukkan langkah konkret dan sistematis dalam mengatasi kerusakan tersebut.

Kebijakan ekspor pasir laut dianggap tergesa-gesa dan mengabaikan aspek kehati-hatian.

MA menilai, seharusnya hasil sedimentasi digunakan untuk rehabilitasi dan pembangunan lingkungan pesisir, bukan untuk kepentingan bisnis.

“Pengaturan komersialisasi hasil sedimentasi di laut berupa penjualan pasir laut adalah bentuk pengabaian tanggung jawab pemerintah dalam perlindungan lingkungan laut dan pesisir,” tulis MA dalam pertimbangannya.

Latar Belakang Kontroversi

Larangan ekspor pasir laut awalnya diberlakukan pada era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri karena kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Namun, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, aturan tersebut kembali dilonggarkan.

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 dan 21 Tahun 2024, pemerintah membuka kembali peluang ekspor hasil sedimentasi laut.

Meski begitu, Presiden Jokowi membantah bahwa pasir laut yang diekspor, melainkan hasil sedimentasi yang disebut sebagai material yang mengganggu alur pelayaran dan perlu dikeruk.

Namun, dalam praktiknya, hasil sedimentasi itu tetap berupa pasir, sehingga memicu kritik dan gugatan hukum.

Penegasan MA

Akhirnya, MA menegaskan bahwa substansi dalam PP 26/2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.

MA juga menilai bahwa kebijakan ini telah menyimpang dari semangat perlindungan lingkungan laut yang diamanatkan dalam Undang-Undang dan UUD 1945.

Putusan ini menjadi titik balik penting dalam pengelolaan sumber daya laut di Indonesia, serta mempertegas pentingnya kebijakan berbasis perlindungan lingkungan dan hukum yang berlaku. (A16) 

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar