Breaking News

Skandal Korupsi di OKU: Skema Jatah Proyek dan Fee Miliaran Terbongkar

Analisis Kasus Dugaan Suap dalamPengadaan Barang dan Jasa

INDOTIMES.ID, Palembang – Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) semakin terang benderang setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam tersangka dalam dugaan suap pengadaan barang dan jasa. Modus yang digunakan menunjukkan pola klasik “jatah proyek” yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislatif.

Struktur Korupsi: Jatah Proyek dan Fee 20 Persen

Skandal ini bermula dari pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) OKU 2025. Sejumlah anggota DPRD OKU meminta jatah aspirasi (pokir) yang kemudian dikonversi menjadi proyek fisik dengan total anggaran awal Rp 40 miliar.

Namun, karena keterbatasan dana, nilai proyek turun menjadi Rp 35 miliar. Meski demikian, kesepakatan fee sebesar 20 persen atau sekitar Rp 7 miliar tetap berlaku. Untuk merealisasikan kesepakatan ini, anggaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU melonjak drastis dari Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar.

Peran Pejabat dan Pengusaha dalam Skema Suap

Kepala Dinas PUPR OKU, NOV, menjadi tokoh kunci yang mengatur pembagian proyek kepada dua pengusaha, MNZ dan ASS. Kesepakatan mencakup sembilan proyek besar, termasuk rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati, serta pembangunan jalan dan jembatan di beberapa desa.

NOV memastikan proyek dikerjakan oleh perusahaan tertentu dengan fee 22 persen: 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Dalam eksekusinya, proyek-proyek ini dikondisikan melalui perusahaan di Lampung Tengah dengan sistem “pinjam nama.”

Pencairan Dana dan OTT KPK

Menjelang Idulfitri, anggota DPRD mulai menagih fee proyek kepada NOV. Pada 11 Maret 2025, pejabat terkait, termasuk Bupati dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), mengurus pencairan dana di bank daerah.

Pada 13 Maret 2025, MNZ menyerahkan Rp 2,2 miliar kepada NOV, sementara ASS menyetorkan Rp 1,5 miliar. Sebagian dari uang ini digunakan NOV untuk kepentingan pribadi, termasuk membeli mobil Fortuner.

Akhirnya, pada 15 Maret 2025, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan mengamankan sejumlah pihak. Uang sebesar Rp 2,6 miliar ditemukan di rumah NOV dan pegawai PNS Dinas Perkim OKU. Selain itu, satu unit mobil Fortuner, dokumen, serta alat komunikasi juga disita sebagai barang bukti.

Tersangka dan Penahanan

KPK menetapkan enam tersangka dalam kasus ini, terbagi dalam dua kelompok:

  • Penerima suap: FJ (anggota DPRD OKU), MFR, dan UM
  • Pemberi suap: NOV (Kepala Dinas PUPR OKU), MNZ, dan ASS (pengusaha)

Para tersangka ditahan di Rutan Kelas 1 Jakarta Timur dan Rutan Kelas 1 KPK di Jalan Kuningan untuk masa tahanan awal selama 20 hari, mulai 16 Maret hingga 4 April 2025.

Kesimpulan: Pola Lama yang Terulang

Kasus ini mengungkap pola korupsi yang terus berulang: alokasi proyek yang dipolitisasi, fee besar untuk pejabat, dan penggunaan perusahaan fiktif. Kenaikan anggaran Dinas PUPR yang tidak wajar menjadi indikasi kuat adanya manipulasi sejak awal.

Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa praktik “jatah proyek” masih mengakar dalam sistem pemerintahan daerah. Jika tidak ada reformasi dalam mekanisme pengawasan APBD dan pengadaan barang/jasa, skandal serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terulang. (Rz)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar