Breaking News
Deskripsi gambar

MUI Sumsel Dukung Pajak Berkeadilan: PBB Jangan Memberatkan, Pajak Sembako Dinilai Tak Tepat

Ketua Komisi Fatwa MUI Sumsel, KH Amin Dimyati Hamzah (tengah). Foto Istimewa

INDOTIMES.id, Palembang – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Selatan menanggapi terbitnya fatwa terbaru dari MUI Pusat terkait pajak berkeadilan, termasuk soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk bangunan tidak layak huni serta pajak atas kebutuhan pokok seperti sembako.

Ketua Komisi Fatwa MUI Sumsel, KH Amin Dimyati Hamzah, menyatakan bahwa penarikan PBB tetap diperbolehkan, namun harus mempertimbangkan asas keadilan dan tidak boleh membebani masyarakat kecil.

“Pajak bumi dan bangunan boleh diambil, tidak apa-apa. Namun jangan sampai memberatkan masyarakat. Maka harus berkeadilan,” kata Amin dikutip dari tribunsumsel, Senin (24/11/2025).

Menurutnya, meski PBB merupakan kewajiban sesuai ketentuan negara, pelaksanaannya perlu memperhatikan kondisi masyarakat. Ia menyoroti adanya beban ganda karena masyarakat sudah membayar Izin Mendirikan Bangunan (IMB) saat membangun rumah.

“Kalau mau diambil pajaknya tidak apa-apa, karena memang sesuai aturan. Tapi jangan sampai menjadi tekanan bagi masyarakat,” jelasnya.

Amin menambahkan, jika sebuah bangunan belum layak dikenakan pajak, sebaiknya PBB tidak dipungut untuk menghindari kesan pemaksaan. Ia menegaskan bahwa pemerintah memiliki hak memungut pajak, namun harus sejalan dengan hak masyarakat untuk tidak dibebani secara berlebihan.

Terkait pajak sembako, Amin berpendapat bahwa kebutuhan pokok tidak seharusnya dikenakan pajak karena masyarakat sudah kesulitan menghadapi harga pangan yang tinggi.

“Sembako adalah kebutuhan dasar. Banyak masyarakat sudah berat dengan harga beras yang mahal. Jadi tidak tepat jika dikenakan pajak,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya stabilisasi harga agar tidak membebani masyarakat kecil.

Isi Fatwa MUI Soal Pajak Berkeadilan

Dikutip dari kompas.com dalam siaran pers MUI Pusat pada Minggu (23/11/2025), ditegaskan sejumlah ketentuan berikut:

  1. Negara wajib mengelola kekayaan untuk kemakmuran rakyat.

  2. Negara boleh memungut pajak jika kekayaan negara tidak cukup, dengan ketentuan:

    • Pajak penghasilan hanya untuk warga berkemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal (85 gram emas).

    • Objek pajak hanya untuk harta produktif serta kebutuhan sekunder dan tersier.

    • Pajak digunakan untuk kepentingan publik.

    • Penetapan pajak harus adil, amanah, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan umum.

  3. Pajak merupakan milik rakyat yang dikelola pemerintah secara jujur dan akuntabel.

  4. Kebutuhan primer tidak boleh dikenai pajak berulang.

  5. Barang konsumtif kebutuhan primer, khususnya sembako, tidak boleh dipajaki.

  6. Bumi dan bangunan yang dihuni (nonkomersial) tidak boleh dipungut pajak berulang.

  7. Warga negara wajib menaati pajak yang ditetapkan sesuai ketentuan syariat.

  8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai ketentuan tersebut hukumnya haram.

  9. Zakat menjadi pengurang kewajiban pajak.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, menegaskan bahwa pajak hanya boleh dikenakan pada kebutuhan sekunder dan tersier. Pengenaan pajak pada sembako atau rumah yang dihuni dianggap tidak mencerminkan keadilan.

“Pungutan pajak terhadap kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah yang dihuni, tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” ujar Niam.

Fatwa ini disahkan dalam Forum Munas MUI di Jakarta pada 20–23 November 2025 sebagai respons atas keluhan masyarakat mengenai kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.

“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” tambahnya. (Red)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Deskripsi gambar